Setiap tanggal 27 Rajab, umat Islam sedunia diingatkan kembali dengan sejarah perjalanan isro’ mi’roj Nabi Muhammad SAW. Di Indonesia khususnya, sampai dijadikan sebagai hari libur nasional. Tidak hanya itu, negara bahkan menyelenggarakan event untuk merefleksikan makna isro’ mi’roj di zaman face book.
Konon, persoalan isro’ miroj’ sejak dulu sampai hari ini (bila masih ada yang meributkan) dianggap sebagai sesuatu yang ‘tidak mungkin’. Titik persoalannya adalah apakah Nabi Muhammad SAW ketika mi’roj dengan badannya atau sekedar ruhnya saja, seperti seseorang yang sedang tidur dan bermimpin melakukan perjalanan dari Makkah ke Palestin, dan dari Palestin ke Sidratul Muntaha?
Tampaknya, diskusi ini kian meredup seiring dengan berbagai bukti teknologi di mana ada seseorang yang meng-SMS dari Klaten, dan dalam hitungan detik SMS itu telah diterima oleh seseorang yang berada di Jakarta. Atau seseorang menge-fax selembar ijazah (dokumen) dari Klaten dan kemudian diterima oleh seseorang yang ada di Amerika. Canggih bukan?
Dari sini biasanya para kiai ketika mengaji dan membahas masalah miroj senantiasa mengatakan, manusia saja bisa, apalagi Allah, Dzat yang Maha Kuasa, Dzat yang menggenggam lagit dan bumi, tentu lebih canggih dari manusia. Kalau menurut saya, kapan para santri bisa mengaplikasikan teknologi isro’ mi’roj dalam kehidupan sehari-hari?
Terlepas dari itu semua, sebenarnya ada yang paling penting yakni masalah perintah sholat. Menurut Said Agil (Ketua PBNU) tidak penting bagaimana kisah Nabi Muhammad berdialog dengan para nabi agar perintah sholat yang semula 50 sholat, menjadi cukup 5 sholat dalam sehari. Justru yang perlu direnungkan oleh umat Islam adalah apakah sholat yang selama ini dijalankan sudah ikut serta merubah problem sosial atau belum?
Bila merujuk firman Allah surat al Maa’uun dikatakan bahwa taukah kamu, siapa para pendusta agama? Maka al Qur’an memberi penjelasan yang salah satunya adalah mereka yang sholat, tetapi lalai dengan sholatnya.
Menarik untuk memperbincangkan makna lalai (lupa) dalam konteks ini. Mengapa? Karena seseorang yang sholat, tetapi lalai dengan sholatnya mereka akan diancam dengan neraka wail.
Kalau kita baca beberapa ayat di al Qur’an ada ayat yang menyatakan bahwa sesungguhnya sholat dapat mencegah kerusakan dan kemungkaran. Dari sini muncul pertanyaan, mengapa ada seseorang yang rajin sholat tetapi rajin juga melakukan kemaksiatan. Istilah lainnya STMJ (sholat terus maksiat jalan). Lalu bagaimana sholatnya? Atau andaikan saja para pemimpin negeri ini sholatnya benar, maka bukankah negeri ini akan mudah keluar dari jejaring korupsi. Bukankah korupsi telah menjalar ke mana-mana? Sampai yang terakhir ada aktivis LSM yang mendapat ‘teror’ karena mengunggap suatu masalah.
Atau ayat lain yang menyatakan, mintaklah tolong dengan (media, wasilah) kesabaran dan sholat. Di sini setidaknya memiliki maksud bahwa dengan sholat, seseorang bila menghadapi masalah besar, ia akan tetap tenang dan dapat berfikir jernih. Mengapa? Karena Allah telah berjanji dengan mengatakan, sholat bisa dijadikan media untuk meminta pertolongan. Tetapi mengapa, umat Islam masih banyak yang belum yakin dengan kedahsyatan power sholat?
Inilah mengapa dalam kesempatan ini, lewat media buletin wasilah saya mengajak untuk merenungkan kembali makna sholat bagi diri kita sendiri. Dan saya tegaskan bahwa sholat merupakan media mi’roj bagi kaum muslimin, sebagaimana sabda Nabi, as sholaatu mi’rojul mu’min.
Kalau seseorang sholat dan masih memikirkan masalah dunia atau bahkan sekedar memikirkan dompetnya yang hilang, dia sebenarnya belum sholat. Dia sekedar ‘rubuh gedang’ dalam istilah Jawa. Tubuhnya sholat, tetapi ruh (pikirannya) masih melayang-layang. Di sinilah perlu seseorang mengkualitaskan nilai sholat bagi dirinya sendiri. Jadikan bahwa sholat seolah-olah berhadapan dengan Dzat yang paling kita hormati dan cintai. Dia adalah Allah. Karena saking cintanya, kita senang untuk berlama-lama dengan kekasih kita (Allah).
Betapa banyak orang yang tidak tahan di rumah Allah (masjid). Mereka setelah sholat, langsung keluar. Mengapa? Karena dunia telah membelenggu hati dan fikirannya sampai-sampai jatah untuk Allah hanya waktu-waktu sisa saja, bukan waktu utama (premium time).
Kalau ini terus dilakukan oleh seorang mu’min, maka sholat belum sampai membekas dalam hati dan terpancar menjadi akhlak yang baik. Dan inilah pentingnya mengapa setiap tahun, atau tepatnya pada tanggal 27 Rajab kita merefleksikan diri kita seberapa dalam kita memaknai sholat kita.
Akhirnya, lewat tulisan yang singkat ini tidak ada salahnya sholat kita yang selama ini sekedar ‘rubuh gedang’ kita maknai lebih jauh lagi menjadi sebuah media mi’roj dan kita ‘seolah-olah’ bertemu langsung dengan penggenggam langit dan bumi Allah SWT. Bila ini bisa kita lakukan, Insya Allah akhlak kita akan menjadi baik. Tidak hanya itu, dunia pun akan mengabdi kepada kita. Wallahu a’lam bis showaab.
ARTIKEL LAINNYA :
1. PERBEDAAN ITU RAHMAT ?
2. FENOMENA MAJELIS ZIKIR
3. ANCAMAN GLOBAL TERHADAP DUNIA ISLAM
4. SIMBOLIESME DALAM ADAT TINGKEPAN
5. TAHLILAN DI MAKAM GUS DUR
6. JANGAN MUDAH MENCELA SESAMA MUSLIM