AHLAN WASAHLAN

Assalaamu'alaikum wr.wb.

Selamat datang dan bergabung bersama kami. Semoga keberkahan Allah SWT tercurahkan kepada kita semua.

REDAKSI

TIDAK SADAR PERBEDAAN

Dalam hal ikhtilaf yaitu perbedaan pendapat para pakar atau ulama berkaitan dengan masalah furu'iyah dalam hukum islam adalah sesuatu yang logis. Namun banyak orang yang menganggap bahwa pendapatnya yang benar sedang lainnya salah kemudian memperjuangkan dengan setengah memaksakan pendapat tersebut. Orang semacam ini pada dasarnya tidak menyadari, bahwa : 1. Kebenaran yang mereka perjuangkan itu adalah kebenaran menurut pendapatnya sendiri. 2. Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah SWT. 3. Berani menyalahkan pendapat para ulama mujtahid mutlak yang sudah diakui oleh para ulama akan kapabilitasnya 4. Telah berani mengambil hak Allah. Padahal hanya Allah yang berhak menentukan mana yang benar mana yang salah 5. Hasil ijtihad para ulama pakar tetap diakui kebenarannya. Yang benar menurut Allah mendapat pahala 2 sedang yang lainnya akan mendapat 1 pahala 6. Membanarkan pendapat sendiri dan menyalahkan yang lain tidak baik bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan islam secara keseluruhan. Terutama berkaitan dengan penguatan ukhuwwah islamiyah 7. Sejarah telah telah memberikan pelajaran yang banyak bagi umat islam. Bagaimana perpecahan dan pertikaian antar umat islam telah menghancurkan kekuatan islam 8. Umat islam mudah diadu domba karena kebiasaan saling menyalahkan

Selasa, 08 Februari 2011

TIGA HARI BERSAMA PENGHUNI SURGA

Anas bin Malik ra menceritakan kepada kita sebuah kejadian yang dialaminya bersama sahabat-sahabat yang lain saat berada di dalam suatu majelis bersama Rasulullah Saw.
Ia berkata, “Suatu hari kami duduk bersama Rasulullah Saw., kemudian beliau bersabda, ‘Wahai para sahabatku, sebentar lagi akan muncul di hadapan kalian seorang lelaki penghuni surga.’ Tak berapa lama setelah Nabi mengucapkan sabdanya, muncullah seorang laki-laki Anshar yang janggutnya basah dengan air wudhu. Dia menjinjing kedua sandalnya pada tangan sebelah kiri.”
Hari berikutnya, Rasulullah Saw. kembali mengucapkan kata-kata yang sama, “Akan datang di hadapan kalian seorang lelaki penduduk surga.” Dan ternyata, yang muncul adalah laki-laki yang sama. Demikianlah Nabi mengulang sabdanya hingga tiga kali, dan laki-laki yang muncul setelah ucapan Nabi itu adalah lelaki yang sama.
Penasaran dengan amalan laki-laki yang disebut Nabi sebagai penghuni surga, Abdullah bin Amr bin Ash ra mencoba mengikutinya. Kemudian dia berkata kepadanya, “Saudaraku, aku sedang bertengkar dengan ayahku, dan aku telah berjanji kepadanya bahwa selama tiga hari ke depan aku tidak akan menemuinya. Bersediakah engkau memberikan tempat bagiku untuk menginap selama hari-hari itu?”
Setelah mendapatkan persetujuan dari lelaki penghuni surga, Abdullah bin Amr bin Ash ra mengikuti hingga ke rumahnya. Di sanalah Abdullah tinggal selama tiga hari. Selama masa itu Abdullah ingin menyaksikan ibadah apa yang dilakukan oleh lelaki itu hingga Rasulullah Saw. menyebutnya sebagai penghuni surga. Tapi sayang, selama itu pula dia tidak menyaksikan sesuatu yang istimewa dari ibadahnya.
Abdullah berkata, “Setelah tiga hari kulewatkan waktuku di rumahnya, tak satu pun aku menyaksikan amalan khusus dan istimewa yang dilakukannya, sehingga hampir-hampir aku meremehkannya. Aku tak mampu lagi menahan rasa ingin tahuku, lalu aku bertanya, ‘Wahai hamba Allah, maafkan aku, sebenarnya aku tidak bertengkar dengan ayahku, dan tidak pula menjauhinya. Aku telah mendengar dari ucapan Rasulullah Saw. bahwa engkau adalah penghuni surga. Bahkan beliau mengatakan hal yang sama hingga tiga kali. Maka aku datang ke tempatmu untuk memperhatikan amalan apa yang engkau lakukan, agar aku bisa menirunya. Mudah-mudahan dengan ibadah yang sama, aku bisa mencapai derajat seperti yang telah engkau gapai.’”
Orang itu menjawab, “Yang kuamalkan tidak lebih dari apa yang engkau lihat.”
Abdullah berkisah, “Saat aku hendak berpaling dan meninggalkannya, ia memanggilku seraya berucap, ‘Demi Allah, amalku tidak lebih daripada apa yang engkau saksikan. Hanya saja, aku tidak pernah menyimpan pada diriku niat buruk kepada kaum Muslim, dan aku tidak pernah merasa dengki terhadap mereka atas kebaikan dan nikmat yang dianugerahkan Allah pada mereka.’”
Mendengar penuturan laki-laki itu, Abdullah bin Amr bin Ash ra berkata, “Hai hamba Allah, demikian bersihnya hatimu dari perasaan buruk terhadap kaum Muslim, dan sungguh hatimu bersih dari perasaan dengki kepada mereka. Aku tahu, inilah tampaknya yang menyebabkan engkau sampai ke tempat yang terpuji itu. Justru inilah amalan yang tidak pernah bisa kami lakukan.” (Sumber kisah ini berasal dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan An-Nasa’i, sedangkan tentang kisah pertemuan Abdullah bin Amr bin Ash ra dengan lelaki penduduk surga itu bisa dibaca dalam Hayat Al-Shahabah, II, hal. 520-521).
Adalah amalan yang tampaknya sederhana kalau hanya sekedar memberikan hati yang bersih dan tidak menyimpan rasa benci kepada kaum Muslim, namun sungguh amalan sederhana demikian itulah yang justru sering kali tak mampu kita lakukan. Mungkin kita mampu berdiri di tengah malam, sujud dan rukuk di hadapan Allah Ta’ala, tetapi sangat sulit bagi kita untuk menghilangkan kedengkian terhadap sesama kaum Muslim, bahkan terkadang hanya karena kita menduga bahwa pahamnya berbeda dengan kita. Kedengkian dan niat buruk kepada kaum Muslim sering kali muncul dalam diri kita hanya karena kita berpikir bahwa dia berasal dari golongan yang berbeda dengan kita, atau hanya karena dia memperoleh kelebihan yang dianugerahkan Allah, sedangkan kita tidak memilikinya.
Hati yang bersih dari berbagai macam penyakit hati, termasuk di dalamnya rasa dengki dan niat buruk terhadap yang lain, diistilahkan oleh al-Qur’an sebagai qalbun salim. Hanya para pemilik qalbun salim yang akan selamat pada hari di mana harta dan anak laki-laki tak mampu lagi menyelamatkan seseorang.
Allah berfirman: “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)
Sejak awal dakwahnya, Rasulullah Saw. telah mengajarkan kepada kaum Muslim untuk memperlakukan kaum Muslim lainnya laksana saudara-saudaranya. Tidak dipandang beriman seorang Muslim yang membenci, menyimpan rasa iri, dan selalu berniat buruk kepada Muslim yang lain.
Nabi sendiri telah mengingatkan hal itu dalam sabdanya: “Tidak beriman di antara kamu sebelum kamu mencintai saudaramu seperti kamu mencintai dirimu sendiri.” (HR Imam Bukhari-Muslim)
Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Ad-Durr Al-Mantsur meriwayatkan sebuah hadis yang bersumber dari riwayat Imam Ahmad dan Ath-Thabrani yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah menjelaskan bahwa setiap masa ada orang yang sangat dekat dengan Allah –yang disebut oleh Nabi sebagai abdal. Bila salah seorang di antara mereka wafat, maka Allah akan menggantikannya dengan orang yang lain. Demikianlah seterusnya, mereka selalu ada di tengah-tengah masyarakat.
Para abdal ini, menurut Nabi, kalau mereka berdoa agar Allah memanjangkan usia seseorang, maka Allah akan panjangkan usianya. Kalau mereka berdoa agar orang-orang yang zalim dibinasakan, maka Allah akan membinasakannya. Berkat kehadiran mereka, Allah menyelamatkan suatu masyarakat dari bencana, karena mereka Allah berkenan menurunkan hujan, dan karena mereka pula Allah menumbuhkan tanam-tanaman.
Bagaimana mereka bisa mencapai kedudukan itu? Menurut informasi yang disampaikan oleh Nabi, orang-orang itu mencapai kedudukan tinggi bukan karena banyak shalatnya, bukan karena banyak puasanya, bukan pula karena sering menunaikan ibadah haji, namun karena dua hal: yakni, mempunyai sifat yang sangat dermawan dan memiliki kecintaan yang tulus kepada sesama Muslim. Wallahu a’lam