AHLAN WASAHLAN

Assalaamu'alaikum wr.wb.

Selamat datang dan bergabung bersama kami. Semoga keberkahan Allah SWT tercurahkan kepada kita semua.

REDAKSI

TIDAK SADAR PERBEDAAN

Dalam hal ikhtilaf yaitu perbedaan pendapat para pakar atau ulama berkaitan dengan masalah furu'iyah dalam hukum islam adalah sesuatu yang logis. Namun banyak orang yang menganggap bahwa pendapatnya yang benar sedang lainnya salah kemudian memperjuangkan dengan setengah memaksakan pendapat tersebut. Orang semacam ini pada dasarnya tidak menyadari, bahwa : 1. Kebenaran yang mereka perjuangkan itu adalah kebenaran menurut pendapatnya sendiri. 2. Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah SWT. 3. Berani menyalahkan pendapat para ulama mujtahid mutlak yang sudah diakui oleh para ulama akan kapabilitasnya 4. Telah berani mengambil hak Allah. Padahal hanya Allah yang berhak menentukan mana yang benar mana yang salah 5. Hasil ijtihad para ulama pakar tetap diakui kebenarannya. Yang benar menurut Allah mendapat pahala 2 sedang yang lainnya akan mendapat 1 pahala 6. Membanarkan pendapat sendiri dan menyalahkan yang lain tidak baik bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan islam secara keseluruhan. Terutama berkaitan dengan penguatan ukhuwwah islamiyah 7. Sejarah telah telah memberikan pelajaran yang banyak bagi umat islam. Bagaimana perpecahan dan pertikaian antar umat islam telah menghancurkan kekuatan islam 8. Umat islam mudah diadu domba karena kebiasaan saling menyalahkan

Senin, 25 April 2011

TAHLILAN : TRADISI SELAMATAN

Ahad pagi, tanggal 10 April 2011 kemarin, saya mendapatkan sms dari salah satu pembaca bulletin Wasilah agar saya mendengarkan dan menyimak siaran dari salah satu stasiun radio swasta di Solo. Siaran itu berisi pengajian dengan pembicara Ustadz Abdul Aziz, seorang mantan Hindu yang sudah masuk Islam. Materi pengajian itu banyak mengkritisi berkaitan dengan masalah “Selamatan” yang banyak dilakukan kaum muslimin di Indonesi khususnya di jawa. Walaupun saya mendengarkannya tidak dari awal namun saya dapat menangkap sebagian isi dari pengajian tersebut pada intinya bahwa selamatan yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin itu tasyabbuh (meniru-niru) terhadap tradisi Hindu. Berkaitan dengan hal tersebut kami sedikit ingin menanggapinya.
Berbica tentang “ Selamatan” di kalangan kaum Muslimin di Indonesia tidak bisa terlepas dengan yang namanya Tahlilan. Tahlilan terambil dari kosa kata “Tahlil”, yang dalam bahasa arab diartikan dengan mengucapkan Laa ilaaha illallah. Sedangkan tahlilan merupakan sebuah bacaan yang komposisinya terdiri dari beberapa ayat Al-qur’an, tahlil, shalawat, tasbih dan tahmid yang prosesi membacanya dilakukan secara kolektif atau berjamaah. Dikatakan Tahlilan, karena porsi kalimat Laa ilaaha illallah dibaca lebih banyak daripada bacaan yang lain. Kegiatan Tahlilan ini biasa untuk selamatan orang yang telah meninggal dunia.
Kalau kita menyimak fatwa Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani, tradisi tahlilan telah berkembang sejak sebelum abad ketujuh Hijriyah. Dalam kita Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah disebutkan :
“ Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka,” Dzikir kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula walaa quwwata illaa billah) dan shalawat kepada nabi saw.” Lalu Ibn Taimiyah menjawab :” Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam shahih Bukhari, Nabi saw bersabda,” Sesungguhnya Allah memiliki banyak malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil,” silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “ Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-MU”…….Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti sholat, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rosulullah saw dan hamba-hamba Allah yang sholeh, zaman dulu dan sekarang”. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22, hal. 520)
Kemudian, bagaimana dengan tradisi selamatan tujuh hari, bukankah itu mengadopsi dari orang-orang Hindu?. Tentu saja pernyataan seperti ini tidak benar. Ada perbedaan antara tradisi Hindu dengan Tahlilan. Dalam tradisi Hindu, selama tujuh hari dari kematian, biasanya diadakan ritual selamatan dengan diikuti kemungkaran-kemungkiran diantaranya acara sabung ayam, perjudian, minuman keras dll. Sedangkan dalam Tahlilan, tradisi kemungkaran seperti itu tidak ada. Dalam tradisi Tahlilan, diisi dengan bacaan al-Qur’an, dzikir bersama kepada Allah SWT, berdoa dan sedekahan. Jadi antara kedua tradisi tersebut jelas berbeda substansinya.
Sedangkan berkaitan dengan acara tujuh hari yang juga menjadi tradisi Hindu, dalam Islam sendiri, tradisi selamatan tujuh hari telah ada sejak generasi sahabat Nabi saw. Al-Imam Sufyan, sorang ulama salaf berkata :
“ Dari Sufyan, bahwa Imam Thawus berkata,” Sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, oleh karena itu mereka (Kaum salaf) menganjurkan bersedekah makanan untuk keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut.”( HR. al-Imam Ahmad dalam Zuhd, al-Hafidz Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya juz 4 hal 11, al-Hafidz Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah juz 5 hal 30 dan al-Hawi li al-Fatawi juz 2 hal 178)
Imam al-Suyuthi berkata :
“ Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang berlaku hingga sekarang (zaman Imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriyyah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi saw sampai sekarang ini dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat)”. (al-Hawi li-Fatawi, juz 2 hal 194)
Riwayat diatas menjelaskan bahwa tradisi selamatan tujuh hari telah berjalan sejak generasi sahabat Nabi saw. Sudah barang tentu, para sahabat dan generasi salaf tidak mengadopsinya dari orang Hindu. Karena orang-orang Hindu tidak ada di daerah Arab.
Dan seandainya tradisi selamatan tujuh hari tersebut diadopsi dari tradisi Hindu, maka hukumnya jelas tidak haram, bahkan bagus untuk dilaksanakan, mengingat acara dalam kedua tradisi tersebut sangat berbeda. Dalam selamatan tujuh hari, kaum muslimin berdzikir kepada Allah SWT. Sedangkan orang Hindu melakukan kemungkaran. Dalam hadits shahih Rosulullah saw bersabda :
“ Dari Ibn Mas’ud ra, Rosulullah saw bersabda :” Orang yang berdzikir kepada Allah diantara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan”. (HR. al-Thabrani dalam all-Mu’jam al-Kabir dan al-Ausath. Al-Hafidz al-Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalam al-Jami’ al-shaghir). Betapa indah dan mulianya tradisi Tahlilan.
Rosul juga tidak anti dengan tradisi lokal. Syari’at Aqiqah misalnya. Syari’at aqiqah telah dikenal dan biasa dilakukan orang-orang musyrik sebagai tradisi sejak zaman jahiliyah, namun dengan cara yang berbeda Rosul saw menuntunkan untuk umatnya. Buraidah berkata,” Dahulu kami di masa jahiliyah apabila salah seorang diantara kami mempunyai anak, ia menyembelih kambing dan melumuri kepalanya dengan darah kambing itu. Maka setelah Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, mencukur (menggundul) kepala si bayi dan melumurinya dengan minyak wangi”. (HR. Abu Dawud juz 3, hal. 107) Dari 'Aisyah, ia berkata , “ Dahulu orang-orang pada masa jahiliyah apabila mereka ber'aqiqah untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas dengan darah 'aqiqah, lalu ketika mencukur rambut si bayi mereka melumurkan pada kepalanya”. Maka Nabi SAW bersabda, “Gantilah darah itu dengan minyak wangi”;.(HR. Ibnu Hibban dengan tartib Ibnu Balban juz 12, hal. 124)
Bagaimana dengan perkumpulan pengajian Ahad Pagi yang banyak dilakukan kaum muslimin dimana-mana. Padahal itu bersamaan juga dengan kaum nasrani berkumpul di Gereja untuk beribadah. Bukankah ini dapat dikatakan tasyabbuh kepada kaum Nasrani yang lebih dulu mengadakan kegiatan berkumpul seperti itu? Padahal dalam Islam tidak ada perintah untuk berkumpul mengadakan pengajian di setiap Ahad Pagi.
Dan seandainya itu semua sebagai tasyabbuh yang dipersoalkan, Rosulullah saw telah mengajarkan kita cara menghilangkan tasyabbuh (menyerupai orang-orang ahli kitab) yang dimakruhkan dalam agama. Dalam sebuah hadits shahih, rosulullah saw bersabda :
“ Ibn Abbas berkata,” Setelah Rosulullah saw berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan kaum Muslimin juga berpuasa, mereka berkata :” Wahai Rosulullah, hari Asyura itu diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani”. Rosulullah saw menjawab:” Kalau begitu tahun depan, kita berpuasa pula tanggal Sembilan.” Ibn Abbas berkata,” Tahun depan belum sampai ternyata Rosulullah saw telah wafat.” ( HR. Muslim dan Abu Dawud)
Ternyata tradisi Selamatan yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin di Indonesi juga dilakukan kaum muslimin di Rusia sebagaimana yang dinyatakan oleh Wakil Ketua Dewan Mufti Besar Rusia, Rushan Hazrat Abbasyov, saat berbincang dengan KR disela kunjungan ke Yogya baru-baru ini. Beliau mengatakan : “ Kalau ada saudara yang meninggal, kami di Rusia juga biasa mengadakan selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, satu tahun, dua tahun, tiga tahun bahkan setiap tahun atau yang biasa disebut Haul”. Jadi ada kesamaan antara tradisi umat Islam di Rusia dan di Indonesia, khususnya di Jawa.(Kedaulatan Rakyat, Minggu Pon, 10 April 2011).
Demikian, dalam menyikapi adanya tradisi lokal. Seandainya ada penyimpangan akan diluruskan dan kalau tidak bisa diluruskan harus ditinggalkan. Janganlah mengahap-hadapkan syari’at dengan tradisi namun jadilakanlah tradisi sebagai pintu gerbang masuknya syari’at sebagaimana metode dakwah para wali yang sudah barang tentu mencontoh metode Rosul saw. Hanya Allah yang mengetahui segala kebenaran.

RUH ORANG YANG SUDAH MENINGGAL DUNIA DAPAT MENGAMBIL MANFAAT DARI USAHA ORANG YANG MASIH HIDUP

Syekh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, seorang ulama bermazhab Hambali, pernah ditanya apakah ruh orang yang sudah meninggal dunia itu dapat mengambil manfaat dari usaha orang yang masih hidup? Beliau menjawab, “Benar, ruh orang yang sudah meninggal dapat mengambil manfaat dari usaha orang yang masih hidup.”
Berikut akan kami ringkaskan apa yang ditulis beliau dalam kitabnya Ar-Ruh perihal amalan/usaha apa saja dari orang yang masih hidup yang manfaatnya bisa diambil oleh ruh orang yang sudah meninggal dunia.

1. Doa Kaum Muslimin
Di dalam al-Qur’an Allah Swt berfirman: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), berdoa, ‘Ya Allah, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami…’” (QS. al-Hasyr: 10).
Allah memuji mereka karena ampunan yang mereka mohonkan bagi orang-orang beriman sebelum mereka. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang sudah meninggal itu dapat mengambil manfaat dari ampunan yang dimohonkan orang-orang yang hidup.
Selain itu, mayat pun bisa memperoleh manfaat dari doa yang diucapkan orang-orang Mukmin saat mereka menshalati jenazahnya. Di dalam As-Sunan disebutkan hadits Abu Hurairah ra yang mengatakan bahwa Rasul Saw bersabda: “Jika kalian menshalati mayat, maka tuluskanlah doa baginya.”
Di dalam Shahih Muslim disebutkan hadits Auf bin Malik ra yang berkata: “Rasul Saw menshalati jenazah, maka kuhapalkan doa yang beliau ucapkan saat itu, yakni: “Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, berilah afiat padanya, maafkanlah dosanya…dst. (Yakni doa yang biasa kita baca saat menshalatkan jenazah).
Di dalam As-Sunan disebutkan hadits dari Watsilah bin al-Asyqa’ ra: “Rasul Saw menshalati jenazah seorang laki-laki dari kalangan Muslimin, maka kudengar beliau mengucapkan: ‘Ya Allah, sesungguhnya Fulan bin Fulan berada dalam tanggungan-Mu dan tali lindungan-Mu. Maka lindungilah ia dari ujian kubur dan siksa neraka, Engkaulah yang memenuhi dan yang benar. Maka ampunilah dosanya dan rahmatilah dia, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Di dalam As-Sunan pun disebutkan hadits Utsman bin Affan ra, dia berkata: “Apabila Nabi Saw selesai mengubur mayat, maka beliau berdiri di sisinya seraya bersabda: ‘Hendaklah kalian memohonkan ampunan bagi sudara kalian dan mohonkanlah keteguhan hati baginya, karena sekarang dia sedang ditanya.’”
Begitu pula doa yang diucapkan oleh kaum Muslim saat datang berziarah ke makam saudara-suadara mereka yang telah berpulang menghadap Allah Ta’ala. Hadits-hadits tentang itu bisa kita temukan dalam Shahih Muslim bersumber dari Buraidah bin al-Khushaib ra, dan juga dari Aisyah ra.

2. Pahala Shadaqah
Disebutkan dalam Ash-Shahihain apa yang dikisahkan oleh Aisyah ra, bahwa ada seorang laki-laki yang datang menemui Nabi Saw seraya berkata, “Ya Rasul, sesungguhnya ibuku meninggal secara mendadak dan belum sempat berwasiat. Aku menduga sekiranya ibuku bisa bicara tentu dia akan bershadaqah. Apakah dia akan mendapatkan pahala jika aku mengeluarkan shadaqah atas nama dirinya?” Beliau menjawab, “Ya.”
Di dalam Shahih Bukhari disebutkan dari Ibnu Abbas ra, bahwa ibu Sa’d bin Ubadah ra meninggal, sementara waktu itu Sa’d tidak berada di sampingnya. Maka Sa’d menemui Nabi seraya bertanya, “Ya Rasul, sesungguhnya ibuku meninggal dan aku tidak berada di dekatnya waktu itu. Maka, apakah dia akan memperoleh manfaat sekiranya aku mengeluarkan shadaqah atas nama dirinya?” Beliau menjawab, “Ya”. Sa’d berkata, “Aku memberikan kesaksian kepada engkau bahwa hasil kebunku menjadi shadaqah atas nama dirinya.”
Di dalam As-Sunan dan Musnad Ahmad juga disebutkan bahwa Sa’d bin Ubadah ra pernah menggali sebuah sumur dan menshadaqahkannya yang pahalanya ia peruntukkan bagi ibunya, Ummu Sa’d. Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abdullah bin Amr, bahwa Al-Ash bin Wa’il pernah bernazar pada masa Jahiliyah untuk menyembelih 100 ekor unta sebagai kurban, sedangkan Hisyam bin Al-Ash bernazar menyembeli 55 ekor. Lalu, Amr menanyakan hal ini kepada Nabi Saw. Beliau menjawab, “Sekiranya ayahmu menyatakan tauhid, lalu engkau puasa dan mengeluarkan shadaqah atas nama dirinya, maka hal itu tentu akan bermanfaat baginya.”

3. Pahala Puasa
Tentang sampainya pahala puasa kepada orang yang sudah meninggal, disebutkan di dalam Ash-Shahihain, dari Aisyah ra, bahwa Rasul Saw bersabda, “Barangsiapa meninggal dunia dan dia masih mempunyai tanggungan puasa, maka walinya berpuasa atas nama dirinya.”
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, “Ada seorang laki-laki menemui Rasul Saw seraya berkata, ‘Ya Rasul, ibuku meninggal dan dia mempunyai tanggungan puasa satu bulan. Maka, apakah aku harus meng-qadha atas namanya?’ Beliau menjawab, ‘Ya, karena agama Allah lebih layak untuk diqadha’”.
Dalam riwayat lain disebutkan seorang wanita telah menemui Nabi Saw dan berkata, “Ya Rasul, ibuku meninggal dunia, sedangkan dia pernah bernazar untuk berpuasa. Maka, apakah aku harus berpuasa atas nama dirinya?” Beliau menjawab, “Apa pendapatmu sekiranya ibumu memiliki hutang lalu engkau melunasinya. Apakah yang demikian itu juga merupakan pelunasan baginya?” Wanita itu menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Maka berpuasalah atas nama dirinya.”
Di dalam As-Sunan dan Musnad Ahmad disebutkan dari Ibnu Abbas ra, bahwa ada seorang wanita yang naik perahu dan dia bernazar jika Allah menyelamatkan dirinya akan berpuasa sebulan. Maka Allah menyelamatkan dirinya. Tapi sebelum sempat berpuasa, dia sudah meninggal dunia. Lalu putri atau saudara perempuannya datang menemui Nabi Saw. Maka, beliau menyuruhnya untuk berpuasa atas nama wanita itu.

4. Pahala Haji
Tentang sampainya pahala haji kepada orang yang sudah meninggal, disebutkan dalam Shahih Bukhari, dari Ibnu Abbas ra, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah yang menemui Nabi Saw, seraya berkata, “Ibuku pernah bernazar untuk menunaikan haji, namun dia belum sempat untuk menunaikannya hingga dia meninggal dunia. Maka apakah aku harus menunaikannya atas nama dirinya?” Beliau bersabda, “Tunaikan haji atas nama dirinya…”
An-Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, “Sesungguhnya istri Sinan bin Salamah al-Juhanny bertanya kepada Rasul Saw, bahwa ibunya meninggal dan dia belum sempat menunaikan haji, apakah ibunya mendapatkan pahalanya jika dia menunaikan haji atas nama dirinya?” Beliau menjawab, “Ya.”
An-Nasa’i juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang wanita yang bertanya kepada Rasul Saw tentang anaknya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Maka beliau bersabda, “Tunaikanlah jai atas nama anakmu.”

5. Pelunasan Hutang
Seluruh umat Islam sepakat bahwa melunasi hutang seseorang bisa menggugurkan tanggungan hutang yang membebaninya. Hutang orang yang sudah meninggal dunia tidak hanya bisa dilunasi oleh ahli warisnya, namun juga boleh dilunasi oleh orang lain yang bukan ahli warisnya. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Abu Qatadah ra, bahwa dia pernah melunasi hutang seseorang yang sudah meninggal dunia sebanyak dua dinar. Setelah hutang itu dilunasi, maka Nabi bersabda, “Sekarang kulitnya terasa dingin olehnya.” (HR Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi)
Kaum Muslimin juga sepakat bahwa seseorang yang sudah meninggal mempunyai hutang kepada orang lain yang masih hidup, lalu orang yang masih hidup itu membebaskan hutang tersebut (mengikhlaskannya), maka hal itu juga bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal, sehingga ia terbebas dari tanggungannya kepada orang yang masih hidup itu.
Itulah sejumlah amal/usaha orang hidup yang manfaatnya bisa diperoleh oleh ruh seseorang yang sudah meninggal dunia. Ibnu Qayyim al-Jauziyah sebenarnya mengemukakan dalil yang jumlahnya lebih banyak dari yang dipaparkan di sini.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, sebaiknya kita simak beberapa ucapan dari pada ulama ahli hadits tentang amaliah yang mereka lakukan dan pahalanya mereka hadiahkan untuk Nabi Saw.

Ucapan Imam-imam Ahli Hadits
• Berkata Imam Al-Hafidz Al-Muhaddits Ali bin Al-Muwaffiq rahimahullah: “Aku 60 kali menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasul Saw.”
• Berkata Imam Al-Hafidz Al-Muhaddits Abu al-Abbas Muhammad bin Ishaq As-Saqafiy As-Siraj rahimahullah: “Aku mengikuti Ali bin Al-Muwaffiq, aku lakukan 7 kali haji yang pahalanya untuk Rasul Saw, dan aku menyembelih qurban 12.000 ekor untuk Rasul Saw, dan aku khatamkan Al-Qur’an sebanyak 12.000 kali yang pahalanya untuk Rasul Saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah Saw.”
• Berkata Imam Al-Hafidz Al-Muhaddits Abu Ishaq al-Muzakkiy: “Aku mengikuti Abu al-Abbas dan aku haji pula 7 kali yang pahalanya untuk Rasul Saw, dan aku mengkhatamkan Al-Qur’an 700 kali yang pahalanya pun untuk Rasulullah Saw. (Tarikh Baghdad, Juz 12 halaman 111).

Ucapan yang disampaikan oleh para ulama ahli hadits tersebut merupakan keterangan yang menegaskan bahwa orang yang telah meninggal dunia bisa mengambil manfaat dari usaha yang dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup. Bagi orang-orang yang terbuka dadanya untuk memahami persoalan ini, sesungguhnya tidak membutuhkan dalil yang banyak untuk meyakini bahwa ruh orang yang sudah meninggal bisa mengambil manfaat dari usaha yang dilakukan oleh orang yang masih hidup. Namun, bagi mereka yang tidak bisa memahaminya, maka sebanyak apa pun dalil yang ditunjukkan akan tetap sulit baginya meyakini keadaan ini. Semoga Allah melimpahkan hidayah kepada kita untuk bisa memahaminya. Amiin.