AHLAN WASAHLAN

Assalaamu'alaikum wr.wb.

Selamat datang dan bergabung bersama kami. Semoga keberkahan Allah SWT tercurahkan kepada kita semua.

REDAKSI

TIDAK SADAR PERBEDAAN

Dalam hal ikhtilaf yaitu perbedaan pendapat para pakar atau ulama berkaitan dengan masalah furu'iyah dalam hukum islam adalah sesuatu yang logis. Namun banyak orang yang menganggap bahwa pendapatnya yang benar sedang lainnya salah kemudian memperjuangkan dengan setengah memaksakan pendapat tersebut. Orang semacam ini pada dasarnya tidak menyadari, bahwa : 1. Kebenaran yang mereka perjuangkan itu adalah kebenaran menurut pendapatnya sendiri. 2. Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah SWT. 3. Berani menyalahkan pendapat para ulama mujtahid mutlak yang sudah diakui oleh para ulama akan kapabilitasnya 4. Telah berani mengambil hak Allah. Padahal hanya Allah yang berhak menentukan mana yang benar mana yang salah 5. Hasil ijtihad para ulama pakar tetap diakui kebenarannya. Yang benar menurut Allah mendapat pahala 2 sedang yang lainnya akan mendapat 1 pahala 6. Membanarkan pendapat sendiri dan menyalahkan yang lain tidak baik bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan islam secara keseluruhan. Terutama berkaitan dengan penguatan ukhuwwah islamiyah 7. Sejarah telah telah memberikan pelajaran yang banyak bagi umat islam. Bagaimana perpecahan dan pertikaian antar umat islam telah menghancurkan kekuatan islam 8. Umat islam mudah diadu domba karena kebiasaan saling menyalahkan

Selasa, 25 Mei 2010

TAHLILAN

Menanggapi pertanyaan pembaca berkaitan dengan Tahlilan :


Terlebih dulu perlu diketahui dan dipahami bahwa tidak semua perbuatan yang tidak dikerjakan pada masa Rosulullah saw itu dilarang. Fakta sudah berbicara bahwa ada banyak hal yang tidak ada dimasa Rosulullah saw, tetapi dikerjakan oleh para sahabat dan tabi’in kemudian diyakini oleh umat Islam sebagai suatu kebenaran. Misalnya pelaksanaan sholat tarwih berjamaah sebulan penuh, mendirikan sholat jum’at lebih dari dua tempat dalam satu desa, mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf, adzan pertama pada hari jum’at dan lain sebagainya. Semua perbuatan tersebut tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Muhammad saw namun dilakukan oleh generasi setelah nabi saw karena memang tidak bertentangan dengan prinsip dan inti ajaran Islam.

Maka demikian pula dengan tradisi berkumpul untuk tahlilan yang telah diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Meskipun tidak pernah dilakukan pada masa Rosulullah saw, namun perkumpulan untuk tahlilan tersebut dibolehkan karena tidak satupun unsur-unsur yang terdapat didalamnya bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan secara esensial merupakan aplikasi anjuran dan tuntunan Nabi Muhammad saw. Al-Syaukani (penyusun kitab Nail Al-Awthar) mengatakan :

“ Kebiasaan disebagian Negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di Masjid, rumah, di atas kubur, untuk membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (Jaiz) jika didalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syari’at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram fi nafsih), apalagi didalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al-Qur’an atau lainnya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits Shohih seperti " bacalah surat yasin kepada orang mati diantara kalian ". Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat yasin tersebut dilakukan bersama-sama didekat mayit atau dikuburnya, dan membaca Al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di Masjid atau dirumah.” ( Al-Rasail al-Salafiah,46 )


Selanjutnya Beliau (Al-Syaukani) mengatakan :

Para sahabat juga mengadakan perkumpulan dirumah-rumah mereka atau di Masjid, melagukan syair, mendiskusikan Hadits, kemudian mereka makan dan minum padahal ditengah mereka ada Nabi saw. Maka siapa saja yang mengharamkan perkumpulan yang di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan, maka sungguh ia telah salah. Karena sesungguhnya bid’ah itu adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan semacam ini tidak tergolong bid’ah.” (Al-Rasail Al-Salafiyah, 46)

Kesimpulan Al-Syaukani ini memang didukung oleh banyak hadits Nabi saw. Diantaranya adalah sabda Nabi saw :” Dari Said Al-Khudri ra, ia berkata, Rosulullah saw bersabda,” Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah swt, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat. Dan Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluq yang ada di sisi-Nya.” (Shahih Muslim, 4868)

Kaitannya dengan pendapat Imam Syafi’I ra. :

Dan aku tidak senang pada “ma’tam” yakni adanya perkumpulan, karena itu akan mendatangkan kesusahan dan menambah beban.” (Al-Umm, juz I hal 318)

Perkataan Imam Syafi’i ra ini sering dijadikan dasar melarang acara tahlilan, karena dianggap sebagai salah satu bentuk ma’tam yang dilarang tersebut. Padahal apa yang dimaksud dengan ma’tam itu tidak sama dengan tahlilan. Ma’tam adalah perkumpulan untuk meratapi mayit yang dapat menambah kesusahan dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan. Dalam kamus Al-Munjid dijelaskan : “ Yang dimaksud ma’tam adalah kumpulan orang yang biasanya semakin menambah kesedihan.” (al-Munjid,2)


Ma’tam inilah yang tidak disenangi oleh Imam Syafi’i ra karena hal itu adalah tradisi jahiliyah yang mencerminkan kesedihan yang mendalam karena adanya orang yang meninggal dunia. Seolah-olah tidak terima dengan apa yang telah diputuskan oleh Allah swt. Dan itu sama sekali tidak terjadi bagi orang yang melakukan tahlilan yang didalamnya terdapat Dzikir sehingga lebih tepat jika tahlilan itu disebut sebagai Majlis Al-Dzikr. Disamping itu, bagi masyarakat, tahlilan itu merupakan pelipur lara dan penghapus duka karena ditinggal mati oleh orang yang mereka sayangi, bukan menambah kesusahan dan derita. Buktinya adalah semakin semakin banyak orang yang tahlil, maka tuan rumah semakin senang. Justru tuan rumah akan kecewa dan tambah bersedih jika yang datang untuk tahlilan sangat sedikit, apalagi tidak ada sama sekali.

Mengenai masalah mendoakan serta menghadiahkan pahala kepada orang yang meningal dunia, mayoritas ulama menyatakan bahwa hadiah pahala itu akan sampai kepada yang dimaksud. Sebagaimana pendapat Ibn Taimiyyah :

Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah mengatakan dalam kitab Fatawanya bahwa pendapat yang benar dan sesuai dengan kesepakatan para imam adalah bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah, baik ibadah badaniyah seperti sholat, puasa, membaca al-Qur’an ataupun ibadah maliyah seperti sedekah dal lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk orang yang berdoa dan membaca istighfar untuk mayit.” (Hukm al-Syari’ah al-Islamiyahm fi Ma’tam al- Arbain, 36)

Memang ada riwayat bahwa Imam Syafi’i ra berpendapat bahwa hadiah pahala itu tidak akan sampai kepada orang yang telah meninggal dunia. Namun hal itu jika tidak dibaca di depan mayit atau tidak didoakan setelahnya. Imam Zakaria Al-Anshari salah seorang tokoh utama dalam madzhab Syafi’I menyatakan :

Sesungguhnya pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’iyyah mengenai pembacaan Al-Qur’an adalah apabila tidak dibaca di hadapan mayit serta pahalanya tidak diniatkan sebagai hadiah atau berniat tetapi tidak membaca doa sesudah bacaan al-qur’an tersebut.”( Hukum Al-syari’ah Islamiyah fi ma’tam al-arbain, 43)


Kesimpulan ini dimunculkan karena ternyata Imam Syafi’i ra. pernah berziarah ke makam Layt bin Sa’d kemudian beliau membaca Al-Qur’an. “ Sudah populer diketahui banyak orang bahwa Imam Syafi’I berziarah ke makam Laits bin Sa’d. Beliau memujinya dan membaca al-Qur’an sekali hatam. Lalu beliau berkata,” saya berharap semoga perbuatan seperti ini ( membaca al-Qur’an di depan makam Imam Al-Layts) tetap berlanjut dan senantiasa dilakukan.” ( Al-Dakhirah al-Tsaminah,64)


Dalam kesempatan lain Imam Syafi’I ra menyatakan : “ Disunnahkan membaca sebagian ayat al-Qur’an didekat mayit, dan lebih baik lagi jika mereka (pelayat) membaca al-Qur’an sampai Khatam.” (Dalil Al-Falihin, juz VI, hal 103)

Karena itu, Imam Nawawi menganjurkan membaca doa setelah pembacaan Al-Qur’an atau Dzikir. Dalam kitab Al-Azkar beliau menyatakan :

Sebaiknya orang yang membaca Al-Qur’an atau Dzikir (untuk orang yang meninggal dunia) itu berdoa,” Ya Allah sampaikan pahala apa yang aku baca ini kepada si Fulan.” (Al-Adzkar, 150)

Sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Imam Syafi’I ra di makam Layt bin Sa’d, sekligus mengukuhkan kebenaran perbuatan Imam Syafi’I tersebut, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengutip sebuah hadits yang menjelaskan tentang tatacara melakukan ziarah kubur, yang menegaskan bahwa pahala bacaan tersebut bermanfaat kepada si mayit, juga kepada orang yang membacanya, “ al-Zanjani meriwayatkan sebuah hadits marfu’ riwayat Abu Huarairah, “Barang siapa memasuki komplek pemakaman, lalu membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, al-Hakumutakasur, kemudian berdoa,” Aku menghadiahkan pahala apa yang aku baca dari firman-MU kepada ahli kubur muslimin dan muslimat, maka semua ahli kubur itu akan membantu ia dihadapan Allah swt di hari kiamat.” Dan Abdul Aziz murid Imam al-Khallal meriwayatkan sebuah hadits marfu’ dari anas,” Barang siapa yang masuk pemakaman, kemudian membaca surat yasin, maka Allah swt akan meringankan dosa-dosa ahli kubur itu dan ia akan mendapat kebaikan sebanyak ahli kubur yang ada ditempat itu.” (Ahkam Tamanni al-Maut li al-syaikh Muhammad bin Abdul wahhab, 75)


Berkaitan dengan Q.S An-Najm, 39 yang menyatakan,” Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” Ibn Qayyim al-Jauziyah mengutip pendapat Abi al-Wafa’ Ibn Aqil menjelaskan : “ Jawaban yang paling baik (tentang QS Al-Najm, 39) menurut saya, bahwa manusia dengan usahanya sendiri dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta menyintai sesama. Maka semua teman, keturunannya dan keluarganya tentu akan menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika telah meninggal). Maka hal itu pada hakekatnya merupakan hasil usahanya sendiri.” (Al-Ruh, 143)

Demikian, sebenarnya masih banyak keterangan-keterangan yang bisa kami berikan namun mengingat keterbatasan tempat mudah-mudahan sedikit ini dapat memberikan pengertian dan bermanfaat bagi kita semua.



HUKUM ISLAM YANG LAIN :
1. KATA SAYYIDINA (JUNJUNGAN KITA) SEBELUM MENGUCAPKAN NAMA NABI KITA MUHAMMAD SAW
2. HUKUM BERSALAMAN SETELAH SELESAI MELAKSANAKAN SHOLAT LIMA WAKTU BERJAMAAH

1 komentar:

  1. Assalamualikum wr. wb, tapi akankah pahala yang kita hadiahkan akan sampai?

    BalasHapus